Obat Antimalaria Masih Memiliki Peran untuk Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis (RA) menyebabkan rasa nyeri, cacat, serta
peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berbagai pilihan terapi telah berkembang
dalam beberapa dekade terakhir, dari disease modifying anti-rheumatic
drugs (DMARDs), hingga pilihan obat golongan agen biologis. Pedoman
praktik klinis saat ini merekomendasikan methotrexate sebagai pengobatan lini pertama DMARD dengan atau
tanpa terapi tambahan. Sampai sekarang, belum ada algoritma resmi pe milihan agen
non-methotrexate atau non-biological sebagai pengobatan lini pertama pasien RA. Antimalaria
telah ditetapkan sebagai DMARD yang efektif dengan biaya relatif rendah, profi
l keamanan yang baik, dan profi l efek samping yang relatif rendah, yang telah berhasil
digunakan sebagai obat tunggal untuk penyakit RA dan arthritis palindromic. Namun, pedoman saat ini tidak memasuk - kan obat
golongan anti-malaria sebagai pilihan terapi.
Faktor-faktor prediktif
positif respons terapi yang baik dengan pengobatan antimalarial tunggal diteliti.
Studi tersebut melihat kualitas pasien yang telah merespons dan tetap
remisi pada pemberian klorokuin atau hydroxychloroquine saja.
Sebanyak 37 kasus ditinjau dan terdapat 33 pasien, di mana 15
pasien mendapat klorokuin dan 18 pasien mendapat hydroxychloroquine, yang kunjungan
awal mendapatkan pengobatan antimalaria. Sebanyak 4 pasien lain pada awalnya
diberi obat antimalaria, tetapi karena berbagai alasan, beralih ke
golongan DMARDs lain. Oleh karena itu, mereka tidak dimasukkan
dalam penelitian ini. Penelitian di lakukan dengan dosis penuh yaitu klorokuin
250 mg atau hydroxychloroquine 400 mg
setiap hari dan terus menerus selama 1 tahun; jika remisi tercapai,
dosis dikurangi secara progresif selama 2 sampai 3 tahun
ke depan untuk klorokuin setiap dua kali seminggu atau hydroxychloroquine 4 kali seminggu
untuk menghindari efek merugikan jangka-panjang.
Dari semua pasien yang masuk
dalam penelitian, 73% RF (Rheumatoid Factor) positif, 75% lainnya
anti-PKC (Protein Kinase C) positif, dan hanya 3 pasien (9%) yang seronegatif;
sedangkan 39% lainnya ANA (Antinuclear Antibody) positif. Sejumlah 54,5% adalah
perokok, pada 33% pasien riwayat merokoknya tidak tercatat. Dalam hal aktivitas
penyakit awal, 70% pasien memiliki durasi gejala kurang dari satu tahun sebelum
memulai pengobatan, di antara yang mempunyai gejala lebih dari 1 tahun, tidak
jelas apakah mereka memiliki penyakit rematik palindro mik pada awal nya (21%),
atau gejala tidak spesifi k. Dua puluh lima pasien (75%) diketahui memiliki
sendi tanpa erosi, dan kondisi mereka tetap stabil dari awal. Sekitar 30 pasien
(91%) tidak memiliki penyempitan ruang sendi, yang menunjukkan pengendalian
penyakit berjalan baik.
Hasil yang didapatkan adalah
33 pasien yang diberi antimalaria tetap berada dalam kondisi remisi klinis
berdasarkan hasil pengamatan klinis, penanda infl amasi, dan laporan radiografi
. Dalam kunjungan tindak lanjut, mereka tetap tanpa tandatanda peradangan dan
tidak ada erosi baru pada radiografi , walaupun masih belum jelas mengapa
beberapa pasien merespon antimalaria dengan baik dan orang lain membutuhkan
obat yang lebih kuat. Ada kemungkinan bahwa aktivitas penyakit ringan termasuk
sendi kecil, inisiasi pengobatan dini, dan kurangnya merokok dapat menjadi
faktor yang berkontribusi untuk pengendalian penyakit ini.
REFERENSI:
1. Cusnir I,
Dobing S, Jones N, Russel A. Antimalarial drugs alone may still have a role in
rheumatoid arthritis. J Clin Rheumatol. 2015; 21(4): 193-5.
2. Smolen JS,
Landewé R, Breedveld FC. EULAR recommendations for the
management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological
disease-modifying antirheumatic drugs. 2013
Update. Ann Rheum
Dis. 2014; 73: 492-509.
3. Sakonas E,
Fitzgerald AA, Fitzcharles MA. Consequences of delayed therapy with second-line
agents in rheumatoid arthritis: A 3 year follow up on the hydroxychloroquine in
early
rheumatoid arthritis (HERA) study. J Rheumatol. 2000;
27: 623-9.
0 komentar:
Posting Komentar